Gagasan untuk sekolah sehari penuh (full day school) dari Mendiknas Muhadjir Effendy di SD dan SMP mengandung pro-kontra. Padahal, sejatinya gagasan Pak Muhadjir – panggilan akrab mantan rektor Universitas Muhammadiyah Malang – itu sangat bagus seandainya bisa diterapkan di Indonesia. Persoalannya, mungkinkah bisa diterapkan di Indonesia?
Tentang full day sschool ini, Pak Muhadjir punya alasan, yaitu agar anak-anak tidak sendirian ketika orang tua mereka masih bekerja. “Dengan sistem full day school ini secara perlahan anak didik akan terbangun karakternya dan tidak menjadi liar di luar sekolah ketika orangtua mereka masih belum pulang dari kerja,” kata Mendikbud di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Minggu (7/8/2016). Menurut dia, kalau anak-anak tetap berada di sekolah, mereka bisa menyelesaikan tugas-tugas sekolah sampai dijemput orangtuanya seusai jam kerja. Selain itu, anak-anak bisa pulang bersama-sama orangtua mereka sehingga ketika berada di rumah mereka tetap dalam pengawasan, khususnya oleh orangtua. Untuk aktivitas lain misalnya mengaji bagi yang beragama Islam, menurut Mendikbud, pihak sekolah bisa memanggil guru mengaji atau ustaz dengan latar belakang dan rekam jejak yang sudah diketahui. Jika mengaji di luar, mereka dikhawatirkan akan diajari hal-hal yang menyimpang.
Sampai di sini, alasan Pak Muhadjir memang benar adanya. Akan tetapi bila dicermati lebih jauh maka akan ada banyak persoalan yang harus dicari solusinya. Kenapa? Karena full day school – di luar alasan Pak Menteri tadi — akan berdampak terhadap beberapa hal yang perlu mendapat perhatian semua pihak.
Pertama, dengan memperpanjang waktu belajar, berarti akan ada penambahan waktu belajar. Penambahan waktu belajar berdampak pada stamina murid. Ya, kalau murid-murid mendapat “uang jajan” yang cukup dari orang tuanya (karena mampu). Jika tidak? Niscaya akan mengalami kelelahan karena lapar. Kelelahan menyebabkan murid tidak konsentrasi belajar atau latihan ketrampilan. Ya, namanya juga lelah maka seluruh tubuh pun mengalami gangguan, baik fisik maupun psikis. Otak juga terganggu. Jika dalam kondisi lelah ini dijejali dengan pelajaran atau pelatihan tertentu, niscaya tidak efektif. Solusi untuk kasus pertama ini, orang tua harus memberikan bekal yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan dan nutrisi anak-anaknya. Pemenuhan bekal ini mungkin mudah bagi orang yang ekonominya mampu. Tapi bagi yang tidak mampu? Jangankan memberikan bekal atau jajan anaknya untuk makan di waktu sore, untuk bekal pagi pun tak ada. Jadi kesempatan pulang cepat (baca: pukul 12 siang atau pkl 13 siang) itu dimanfaatkan orang tua–tidak mampu agar anaknya tidak jajan di sekolah. Ini penghematan. Tapi jika sekolah sampai full day, pasti ada pengeluaran tambahan untuk orang miskin. Solusinya: sekolah bertanggungjawab terhadap makan anak-anak sampai pulang. Dan ini pasti menjadi tambahan anggaran bagi Kemendikbud. Tambahan anggaran untuk makanan sore anak-anak ini jumlahnya akan besar sekali.
Kedua, pelajaran apa saja yang akan diberikan kepada murid SD dan SMP setelah makan sore terpenuhi? Ini pun harus kita pikirkan bersama. Di Jakarta, mungkin pelajaran bahasa Inggris, musik, dan menyanyi mungkin cocok. Tapi di daerah terpencil? Pelajaran-pelajaran tersebut kurang aplikatif di daeah. Yang dibutuhan mereka, pelajaran tentang perkebunan, pertanian, dan pengolahan produk pascapanen agar hasil daerahnya bertahan dan tidak dikibuli tengkulak. Solusinya: pelajaran tambahan tersebut hendaknya compatible dengan kebutuhan daerahnya.
Ketiga, harus ada pemetaan masalah. Alasan Pak Menteri mengenai pentingnya pendidikan full day tersebut jelas tidak bisa diaplikasikan di setiap daerah. Di daerah terpencil Papua, misalnya, akan sangat sulit menerapkan kebijakan itu, kecuali pemerintah membangun asrama di sekolah dan semua kebutuhan murid ditannggung negara. Jika tidak begitu, nyaris tak mungkin bisa dilakukan. Sebabnya, banyak murid-murid sekolah yang rumahnya jauh dan harus ditempuh 5 sampai 6 jam untuk ke sekolah. Jika mengikuti kebijakan tersebut, jam berapa sampai ke rumah dari sekolah? Pasti sudah malam dan itu sangat berbahaya di Papua yang lahannya masih rawa-rawa.
Ada baiknya sebelum menerapkan kebijakan full day, kita mencari upaya untuk menyelesaikan problem yang muncul di sekolah itu yang terkait dengan kurikulum dan sistem pembelajaran. Kurikulum pendidikan di SD dan SMP sejak dulu bermasalah tapi tidak serius dibenahi. Terlalu banyak pelajaran yang harus dikonsumsi anak-anak dan dari sekian pelajaran juga kontennya tumpang tindih. Mestinya kurikulum itu bersifat praktis, efisien, tapi mengena langsung ke jantung pendidikan. Mungkin kita bisa mengambil contoh sistem pendidikan di Finlandia.
Di Finlandia, misalnya, asumsi dasar dari sistem pendidikan adalah setiap anak punya jenis kecerdasan tertentu yang berbeda dengan lainnya. Karena itu, varian mata pelajaran sangat tergantung pada kecerdasan anak tersebut. Anak yang punya kecerdasan spasial (kecerdasan ruang) akan dibedakan mata pelajarannya dengan anak yang punya kecerdasan linguistik. Dengan melihat banyaknya jenis kecerdasan anak (multiple intelegence) maka mata pelajaran sekolah yang sifatnya wajib hanya sedikit sekali seperti matematika, bahasa, dan sejarah. Selanjutnya murid-murid bebas memilih pelajaran sesuai minatnya. Di samping itu cara penyajian materi pun dibuat sedemikian rupa agar membuat nyaman murid-murid. Bandingkan dengan sekolah-sekolah di Indonesia. Jangankan nyaman, tidak dimarahi guru saja sudah seneng. Akibatnya, pendidikan mengalami degradasi.
Di pihak lain, ujian sekolah dan pemeringkatan (dengan istilah juara kelas, pinter dengan IP 3-4 dan lain-lain) sebaiknya ditiadakan. Ini akan mengganggu psikologis murid dan menimbulkan gap. Di Finlandia, negeri yang sistem pendidikannya menurut PBB paling baik di dunia – tak ada yang namanya ujian nasional dan pelajaran-pelajaran aneh yang selama ini sangat membebani murid). Banyak pelajaran aneh di SD dan SMP yang dibuat Kemendiknas. Misal pelajaran agama banyak berimpitan dengan pelajaran kewarganegaraan. Pelajaran semacam itu masih banyak lagi. Kemendikbud harus mengkaji lebih jauh sistem pendidikan yang ada sekarang ini.
Saya kira itu dulu yang perlu dibenahi dan relatif mudah untuk mengeksekusinya ketimbang menerapkan full day school. Full day school memang baik, namun butuh persiapan yang panjang karena masalahnya terlalu kompleks. Tapi membenahi kurikulum dan sistem pembelajaran relatif mudah pelaksanaannya. Jika hal terakhir ini bisa dilakukan, maka akan terjadi perubahan paradigma pendidikan yang signifikan di Indonesia. Pendidikan itu bukan beban, tapi bawaan alam yang nyaman. Sayang wajah pendidikan kita jauh dari itu semua. Yang kelihatan justru menyedihkan: nyontek massal saat ujian, menyuap untuk lulus sekolah, dan rebutan proyek kementerian untuk sekadar bagi-bagi uang. Jika yang terakhir ini yang berjalan, tunggulah kehancuran sistem pendidikan di Indonesia.