RA Kartini yang hari kelahirannya, 21April diperingati Bangsa Indonsia, sebetulnya seorang gadis yang bernasib tragis. Betapa tidak, putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, Bupati Jepara ini, sejak kecil hidupnya merasa terkungkung dan tidak mampu berbuat apa-apa, kecuali memberontak melalui surat-surat yang dikirimkannya kepada orang-orang Barat yang dikenalnya. Namun demikian, pemberontakan Kartini ini luar biasa. Meski fisiknya terperangkap dalam tembok-tembok keraton, tapi fikirannya tetap bebas menggugat tradisi yang membelenggunya.
Di tengah perjuangannya untuk mensejajarkan harkat dan pendidikan kaum wanita , tiba-tiba Kartini disuruh menikah oleh ayahnya dengan Bupati Rembang K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Jelas, pernikahan ini adalah sesuatu yang tidak dikehendakinya. Tapi Kartini tak bisa melawan tradisi itu. Akhirnya, Kartini terpaksa menikah dengan sang bupati pada usia 24 tahun. Meski demikian, suaminya mengerti keinginan Kartini dan dia diberi kebebasan dan didukung mendirikan sekolah gratis untuk wanita di Rembang. Sayang, sang pejuang ini umurnya pendek. Dia meninggal setahun setelah pernikahannya di usia 25 tahun.
Walaupun umurnya pendek, tapi gagasan-gagasan Kartini sangat inspiratif. Hal itu bisa dilihat dari surat-surat Kartini kepada teman-temannya di Belanda. Berikut kutipan beberapa surat Kartini yang sarat dengan pemberontakan terhadap tradisi yang mengungkung kaumnya itu.
Surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar, 18 Agustus 1899
“Sesungguhnya adat sopan-santun kami orang Jawa amatlah rumit. Adikku harus merangkak bila hendak lalu di hadapanku. Kalau adikku duduk di kursi, saat aku lalu, haruslah segera ia turun duduk di tanah, dengan menundukkan kepala, sampai aku tidak kelihatan lagi. Adik-adikku tidak boleh berkamu dan berengkau kepadaku. Mereka hanya boleh menegur aku dalam bahasa kromo inggil (bahasa Jawa tingkat tinggi). Tiap kalimat yang diucapkan haruslah diakhiri dengan sembah. Berdiri bulu kuduk bila kita berada dalam lingkungan keluarga bumiputera yang ningrat. Bercakap-cakap dengan orang yang lebih tinggi derajatnya, harus perlahan-lahan, sehingga orang yang di dekatnya sajalah yang dapat mendengar. Seorang gadis harus perlahan-lahan jalannya, langkahnya pendek-pendek, gerakannya lambat seperti siput, bila berjalan agak cepat, dicaci orang, disebut kuda liar.”
“Bagi saya hanya ada dua macam keningratan: keningratan pikiran dan keningratan budi. Tidak ada yang lebih gila dan bodoh menurut persepsi saya daripada melihat orang, yang membanggakan asal keturunannya. Apakah berarti sudah beramal soleh, orang yang bergelar Graaf atau Baron? Tidak dapat mengerti oleh pikiranku yang picik ini.”
Surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar, 6 November 1899
“Jalan kehidupan gadis Jawa itu sudah dibatasi dan diatur menurut pola tertentu. Kami tidak boleh mempunyai cita-cita. Satu-satunya impian yang boleh kami kandung ialah, hari ini atau besok dijadikan istri yang kesekian dari seorang pria. Saya tantang siapa yang dapat membantah ini. Dalam masyarakat Jawa persetujuan pihak wanita tidak perlu. Ia juga tidak perlu hadir pada upacara akad nikah. Ayahku misalnya bisa saja hari ini memberi tahu padaku: Kau sudah kawin dengan si anu. Lalu aku harus ikut saja dengan suamiku. Atau aku juga bisa menolak, tetapi itu malahan memberi hak kepada suamiku untuk mengikat aku seumur hidup tanpa sesuatu kewajiban lagi terhadap aku. Aku akan tetap istrinya, juga jika aku tidak mau ikut. Jika ia tidak mau menceraikan aku, aku terikat kepadanya seumur hidup. Sedang ia sendiri bebas untuk berbuat apa saja terhadap aku. Ia boleh mengambil beberapa istri lagi jika ia mau tanpa menanyakan pendapatku. Dapatkah keadaan seperti ini dipertahankan, Stella?”
Surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar, 23 Agustus 1900
“Aku akan mengajari anak-anakku baik laki-laki maupun perempuan untuk saling menghormati sebagai sesama dan membesarkan mereka dengan perlakuan sama, sesuai dengan bakat mereka masing-masing.”
Surat RA Kartini kepada Ny. Abendanon 15 Juli 1902
“… dan kami yakin seyakin-yakinnya bahwa air mata kami, yang kini nampaknya mengalir sia-sia itu akan ikut menumbuhkan benih yang akan mekar menjadi bunga-bunga yang akan menyehatkan generasi-generasi mendatang.”
Surat Kartini kepada Ny Abendanon, 14 Desember 1902
Sepanjang hemat kami, agama yang paling indah dan paling suci ialah Kasih Sayang. Dan untuk dapat hidup menurut perintah luhur ini, haruskah seorang mutlak menjadi Kristen?
Surat Kartini kepada anak Abendanon
“… Banyak sekali kejadian pada waktu akhir-akhir ini menunjukkan bahwa manusia hanya menimbang-nimbang. Tuhanlah yang akhirnya menetapkan. Semua itu merupakan peringatan kepada kita semua yang berpandangan picik supaya kita jangan sombong: jangan mengira bahwa kita mempunyai ‘kemauan sendiri’. Ada suatu Kekuasaan yang lebih tinggi dan lebih besar daripada semua kekuasaan di dunia. Ada Kemauan yang lebih kuat dan lebih kuasa daipada semua kemauan manusia dijadikan satu. Celakalah orang yang membusungkan dadanya dan mengira bahwa kemauannya adalah sekuat baja! Hanya ada satu kemauan yang boleh dan harus kita miliki, yaitu kemauan untuk mengabdi kepada Kebaikan!… Sekarang kami memegang erat tangan Dia. Dia-lah yang mengarahkan kami, menilai dengan penuh kasih sayang… Di situ GELAP MENJADI TERANG, taufan menjadi angin tenang. Sebetulnya semua di sekitar kami masih sama saja, tetapi bagi kami telah tidak sama lagi. Telah terjadi perubahan dari dalam kami yang menyinari segala2nya dengan cahaya-Nya. Kami merasa tenang dan damai dalam jiwa kami… Kami selalu memohon agar diberi kekuatan untuk memikul baik duka maupun suka. Terutama dalam suka, sebab dalam bersuka ria terdapat godaan… Kami tak dapat mengatakan betapa besar terima kasih kami bahwa kami telah berkenalan dengan Nyonya van Kol…”
“… Tahukah kau siapa yang membuka tabir di muka mata kami? Ialah: Nellie van Kol. Tetapi yang sekarang menuntun kami untuk menemukan Tuhan ialah Ibu. Sungguh bodoh kami ini. Sepanjang hidup kami memiliki mutiara segunung di samping kami, tetapi kami tidak melihatnya, tidak mengetahuinya. Sungguh, betul-betul bodoh dan sok tahu kami ini. Dan kau sekarang tak dapat membayangkan betapa bahagia Ibu dan para sesepuh lainnya, melihat perubahaan hidup kejiwaan kami. Tak satu kata celaan keluar dari mulut mereka. Hanya: ‘Tuhan baru sekarang berkenan membuka hati kalian. Bersyukurlah!’”.