Tragedi yang menimpa Yuyun, siswi SMP Rejang Lebong, Bengkulu yang diperkosa dan dibunuh 14 remaja, sungguh mengiris hati siapa pun, terutama para pendidik. Kenapa hal itu terjadi? Di mana “jejak-jejak moral” pendidikan yang pernah mereka (para pelaku) jalani sejak SD, SMP, dan SMA?
Masyarakat jelas sangat marah terhadap para pelaku – tapi cobalah melihat “ke dalam” diri kita, kenapa hal itu bisa terjadi. Menurut informasi, para pelaku perkosaan dan pembuhuhan itu sebelumnya menenggak minuman keras dan suka menonton film porno. Mungkin dua hal ini saja, patut kita perhatikan. Dan pemerintah seharusnya punya perhatian spesial terhadap dua komoditas madat (minuman keras dan pornografi) tersebut.
Peredaran minuman keras di Indonesia saat ini sangat merajalela. Hotel, diskotik, bar, supermarket, sampai warung-warung pinggir jalan menjual minuman keras tersebut. Jika hotel, diskotik, supermarket, dan bar mungkin mendapat izin dari pemerintah daerah setempat, tapi warung-warung pinggir jalan menjajakannya secara tersembunyi. Hampir bisa dipastikan, para pemerkosa Yuyun mendapatkan minuman keras melaui warung-warung pinggir jalan tadi. Warung-warung pinggir jalan ini tidak pernah kapok menjual minuman keras (miras) karena hukumannya terlalu ringan. Malah tidak dihukum sama sekali dengan memberi suap kepada aparat keamanan. Hal terakhir inilah yang sering terjadi. Melihat kasus Yuyun tersebut, saatnya pemerintah bersikap tegas terhadap penjualan miras dan peredaran miras. Bila perlu pelarangan penjualan miras di seluruh tanah air. Tentu saja pelarangan penjualan miras ini harus diikuti dengan sanksi yang tegas terhadap pelanggarnya.
Sejauh ini di kalangan pemerintah ada kekhawatiran dengan melarang penjualan miras di seluruh tanah air, karena pariwisata akan terganggu. Maklumlah, konon, turis membutuhkannya. Alasan ini absurd! Pariwisata tidak identik dengan miras. Turis juga tidak semuanya suka miras. Malah bisa sebaliknya, turis akan makin aman bila di negeri tujuan wisatanya tak ada miras. Saat ini di dunia sedang berkembang “green tourism” di mana salah satu komponennya adalah turisme tanpa alkohol. Semua orang tahu alkohol yang terkandung dalam miras sangat berbahaya untuk kesehatan jasmani dan rohani. Dan wisatawan yang peduli kesehatan niscaya menghindarinya. Seandainya Indonesia mengembangkan wisata tanpa miras, niscaya Indonesia akan menjadi negara destinasi wisata yang aman dan menyenangkan. Ini adalah kesempatan emas yang menguntungkan semua pihak. Masyarakat aman, anak-anak aman, remaja aman, dan wisatawan aman. Presiden Joko Widodo harus memperhatikan masalah ini secara serius. Jangan lagi ada anak bangsa menjadi korban miras. Cukup sudah, Yuyun menjadi korban terakhir.
Berikutnya masalah pornografi. Pornografi dan miras, ibarat pisau bermata dua. Dua-duanya sangat berbahaya. Pemerintah sekali lagi harus berani melarangnya. Pornografi ini sekarang mudah diakses melalui internet. Mungkinkah pemerintah menutup semua akses internet yang mengarah pada pornografi? Masalah ini memang sulit. Tapi tidak berati nihil cara untuk menjauhkan anak-anak dan remaja dari pornografi. Melalui pendidikan di sekolah dan rumah (orang tua), hendaknya anak-anak diberi pengertian bahwa pornografi sangat berbahaya. Bukan saja membuat pikiran kacau, tapi juga merusak jiwa. Sejauh ini nyaris belum ada iklan layanan masyarakat yang mengusung bahaya pornografi. Setelah munculnya kasus Yuyun, masalah pornografi ini perlu mendapat perhatian serius. Bagaimana mencegah dan menghilangkan peredarannya.
Yuyun adalah satu di antara jutaan korban dari orang-orang yang mengkonsumsi miras dan pornografi. Jika masalah miras dan pornografi ini dibiarkan, niscaya korban-korban semacam Yuyun akan terus bergelimpangan. Saatnya pemerintah membuat UU yang lebih keras, preventif, dan membuat kapok para pelaku yang membuat, mengedarkan, dan mengonsumsi miras dan pornografi.
Akhirnya pendidikan di Indonesia kini menjadi tumpuan: bagaimana mencetak insan-insan anti miras dan pornografi! Ini adalah tantangan semua stake holder pendidikan demi masa depan bangsa.