Siswa SMA/SMK/Aliyah saat ini tengah melaksanakan ujian nasional. UN — ritual tahunan sistem pendidikan nasional ini — tiap tahun membuat anak-anak deg-degan. Lulus atau tidak. Jika lulus, ough ..seakan dunia menjadi miliknya. Tapi jika gagal, dunia seperti melecehkannya. Sepertinya semua orang menghardiknya: anak bodoh…anak malas! Malu dan gelap. Itulah sebabnya, banyak anak SMA yang tres jika tidak lulus. Bahkan ada yang bunuh diri.
UN adalah monster sistem pendidikan nasional. Sebelumnya, dua tahun lalu, monster itu sangat jahat. Gara-gara gagal UN, belajar keras selama tiga tahun di SMA tak ada artinya. Gagal UN berarti tak bisa meneruskan kuliah. Ijasahnya pun tak ada artinya. Dunia kiamat. Itulah sebabnya banyak anak stres, bahkan gila. Pemerintah pun dikritik. Masyarakat menuntut UN dihapuskan. UN dianggap tak ada gunanya. Pemerintah akhirnya memenuhi sebagian tuntutan masyarakat. UN tidak l agi menjadi standar kelulusan sekolah. UN hanya untuk pemetaan.
Tapi betulkah UN hanya untuk pemetaan dan evaluasi pendidikan nasional? Kalau pemetaan, kenapa harus tiap tahun UN? Kenapa pula diadakan di akhir masa sekolah? Jika hanya untuk pemetaan, mestinya diadakan di bulan Oktober tau Nopember tiap tahunnya. Bukan di bulan April yang nota bene merupakan bulan akhir masa belajar. Lalu, kenapa hasil UN harus dilampirkan jika seorang anak mau mendaftar di sebuah perguruan tinggi negeri (PTN)? Ternyata, penghapusan UN masih setengah hati. Belum benar-benar terhapus. Pemerintah punya logika: ia telah mengeluarkan dana dan tenaga yang begitu besar untuk penyelenggaraan UN, mosok sih hasilnya hanya untuk pemetaan keberhasilan pendidikan? Rejim UN ternyata tampaknya tidak rela jika UN dihapuskan sama sekali.
Memang, sejak tahun tahun 2014, UN tidak lagi menjadi standar kelulusan. Tapi tetap saja nilai-nilai UN masih menjadi standar dalam penerimaan mahasiswa di perguruan tinggi tertentu. Akibatnya, secara umum UN pun masih tetap menjadi monster yang menakutkan. Dan pemerintah tetap memelihara “ketakutan siswa” itu. Padahal sejak UN masih mutlak menjadi standar penilaian keberhasilan belajar sampai sekarang (ketika UN hanya sekadar pemetaan keberhasilan pendidikan), kualitas sistem pendidikan Indonesia di mata dunia internasional kualitasnya tak pernah beranjak naik. Kualitas pendidikan Indonesia tergolong rendah. Bahkan di Asia Tenggara pun, masih tertinggal jauh dibanding Singapura, Thailand, Filipina, dan Malaysia. Bahkan masih dibawah Vietnam. Kenapa? Sekolah di Indonesia bukan tempat menyenangkan. Pelajaran terlalu banyak itemnya. Cara mengajarnya masih kuno. Satu arah, dari guru ke murid – belum ada dialog yang intens antara guru dan murid. Alat peraga dan perpustakaan minim. Guru masih dianggap pihak yang tahu segalanya, sedangkan murid pihak yang bodoh segalanya. Sekolah tak menyadari bahwa anak-anak sekaang sudah punya guru yang serba tahau. Namanya Pak Google dari Amerika….
Dalam kondisi inilah seharusnya rejim UN berpikir kreatif. Bagaimana memanfaatkan teknologi internet yang mampu mengakses semua ilmu pengetahuan yang ada di mana pun. Di pihak lain, sekolah pun harus mulai menyadari bahwa setiap anak punya kecerdasan alamiah. Ada yang cerdas melukis, cerdas menyanyi, cerdas bermusik dan lain-lain. Selama ini pemeintah hanya menghargai kecerdasan yang sesuai dengan mata pelajaran di sekolah seperti matematika, IPA, dan ilmu-ilmu sosial. Itu pun hanya hapalan, bukan kecerdasan dalam pengertian kreatif dan inovatif.
Banyak keuntungannya bila UN dihapuskan. Pertama, kecemasan anak-anak dan guru berkurang. Kedua, sekolah lebih leluasa mengembangkan metode pembelajarannya. Ketiga, sekolah bisa leluasa mengembangkan mata pelajaran yang sesuai dengan daerahnya. Dengan demikian, mata pelajaran bermuatan lokal yang kreatif bisa dikembangkan sekolah. Keempat, kecerdasan alamiah yang majemuk anak-anak bisa tersalurkan asal pemerintah memberikan semua fasilitas yang dibutuhkan untuk mengembangkan kecerdasan majemuk tersebut.
Dalam hal ini, pemerintah Indonesia perlu melakukan studi banding ke Finlandia – negeri yang sistem pendidikannya terbaik di dunia. Di Finlandia, tak ada ujian nasional, bahkan ujian sekolah pun dikerjakan dalam bentuk tim; tak ada pemeringkatan, tak ada pendiktean guru terhadap murid. Penilaian guru pun berdasarkan “kecerdasan alamiah” sang anak. Dengan demikian, tak ada anak yang merasa bodoh dan tak ada guru yang merasa paling mengetahui semua hal. Sekolah berlangsung secara emansipatoris, demokratis, dan menyenangkan. Hasilnya: anak-anak Swedia menjadi pribadi yang cerdas, positif, dan bertanggungjawab. Anak-anak Indonesia? Anda pasti tahu jawabannya.
Tiap tahun, tiap ada UN, kebocoran soal terus terjadi. Ketidakjujuran UN dengan beredarnya jawaban soal-soal UN belangsung masif di mana-mana. Itu semua tandanya UN sudah kehilangan legitimasi. Karena itu pemerintah harus berani menghentikan UN tanpa reserve dan mencari alternatif lain yang lebih baik. ss