Oleh : DR. Haidar Bagir (Ketua Dewan Pembina)
Kita percaya bahwa Allah SWT itu adalah Dzat yang sangat menyayangi kita. Jika kita cermati, seluruh perintah Allah SWT selalu mengandung aspek kasih sayang dan perhatian-Nya pada setiap hamba. Perintah zakat misalnya, bukan saja merupakan jalan pertolongan bagi hamba yang lemah, tetapi juga merupakan fasilitas eksklusif untuk kaum yang mampu.
Bagi kaum miskin zakat akan memerdekakan mereka dari belenggu kesulitan hidup. Mencukupi mereka dengan kebutuhan pokok sekaligus memberi solusi pada masalah ekonomi, minimal dalam jangka pendek, maupun berdampak positif dalam jangka panjang.
Karena itu, kecuali untuk hal-hal yang urgen, zakat seharusnya tidak dihabiskan untuk hal-hal yang bersifat konsumtif semata, melainkan untuk mendukung proses ekonomi masyarakat pedesaan. Misalnya dialokasikan untuk fi sabilillah, termasuk untuk membangun infrastruktur jalan agar memberikan kemudahan akses ekonomi bagi para petani di desa-desa yang terpencil.
Jika biasanya petani tersebut menjual hasil pertaniannya melalui tengkulak dengan harga rendah, maka dengan adanya akses jalan yang memadai, mereka dapat menjual hasil pertanian ke kota dengan harga yang lebih baik. Dengan demikian zakat membantu petani-petani kecil untuk meningkatkan taraf hidup keluarganya menuju kemakmuran.Pada sisi lain, zakat juga merupakan hadiah bagi kaum kaya (mampu). Artinya, zakat memberikan akses pembelajaran agar kaum kaya memerdekakan diri mereka dari belenggu egoisme.
Egoisme identik dengan ketidaksediaan untuk berkorban akibat dominasi nafsu mementingkan diri sendiri. Musuh egoisme adalah memberi. Maka hanya ada satu jalan untuk mengalahkan egoisme kita, yaitu dengan memberi dan terus belajar untuk memberi.
Dalam Al-Qur’an Allah Swt menegaskan bahwa kita tidak akan mencapai kebajikan kecuali kita berinfak. …Wa aatal maala ‘ala hubbih (dan — orang yang bajik — memberikan harta yang dicintainya). (Al-Baqarah: 177). Dalam hubungan ini zakat mengajarkan kepada kita untuk memberi. Syaratnya, dalam berzakat dan memberi itu, hendaknya kita memilih untuk memberikan bagian harta kita yang terbaik, harta yang kita cintai. … Puncak kebebasan memberi adalah ketika kita mampu memberi dengan harta yang kita cintai.
Dalam salah satu firman-Nya, Allah Swt. menyatakan :
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (Al-Baqarah: 267).
Sejalan dengan itu, ketika menjawab pertanyaan maadzaa yunfiquun (apa yang harus diinfakkan?). Allah mengajar Nabi untuk menjawab : “al-‘afwu”. Al-‘afwu berarti kelebihan dari kebutuhan kita. Semua kelebihan harta dari kebutuhan kita, harusnya diberikan kepada orang lain yang membutuhkan.
Selain itu, bagi kaum yang mampu, memberikan sebagian harta kita yang kita cintai untuk kaum miskin sejatinya adalah juga bagian dari upaya untuk mengalirkan keberkahan. Manfaat lainnya adalah untuk menjamin bahwa kehidupan sosial tetap harmonis, yakni ketika hak-hak kaum miskin yang ada pada kelompok kaya terdistribusi secara baik.
Dalam hubungan ini Khalifah Ali bin Abi Thalib r.a menegaskan bahwa sesungguhnya Allah menetapkan hak makan fakir miskin di dalam hartanya kaum kaya; karena itu tidaklah kelaparan seorang miskin pun kecuali karena penggunaan harta secara berlebihan oleh kaum berada; maka Allah sendiri yang akan meminta pertanggungjawaban mereka. Dengan kata lain, kemiskinan bukanlah disebabkan oleh kurangnya sumberdaya alam – sebagai anugerah dari Allah Swt — melainkan karena distribusi kekayaan yang timpang dan tidak sehat. Hal ini telah dibuktikan oleh riset Amartya Sen, seorang pakar ekonomi peraih nobel, dalam kasus kelaparan di Bangladesh.
Menahan zakat berarti memangkas keberkahan dalam setiap anugerah Allah Swt. Membelenggu kebaikan dan kemerdekaan diri kita dan kaum dhu’afa. Sebaliknya, mengeluarkan zakat bermakna meluaskan keberkahan, membebaskan diri mengikuti aliran fitrah manusia yang sejatinya mencintai berbagi : Membebaskan diri kita dari egoisme, sekaligus membahagiakan diri kita.
Semuanya ini kiranya merupakan perwujudan dari misi dasar Islam dan pengutusan Nabi Muhammad Saww. Memang sesungguhnya Allah Swt. mengutus para nabi dan Rasul dengan misi untuk menjadi agen penyebar rahmat dan kasih sayang bagi seluruh umat manusia. Bahkan diutusnya Nabi Muhammad Saw adalah dalam misi rahmatan lil ‘alamin, menaungi semesta dengan kasih sayang.
Salah satu wujud nyatanya adalah adalah berkomitmen memberikan perhatian dan kasih sayang secara khusus bagi orang-orang yang kekurangan. Karena itulah Nabi Saw lebih sering berada di antara orang-orang yang kesulitan, intens melakukan advokasi bagi pemenuhan hak-hak dasar dhu’afa. Membebaskan kaum miskin dan lemah dari beban hidup dan menghimpit dan kesulitan yang membelenggu.
Mengenai misi dan akhlak Nabi ini, Allah berfirman :
“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (At-Taubah: 128).
Kesimpulannya, secara singkat dapat dikatakan bahwa zakat memiliki peran strategis memanusiakan manusia. Yakni, di satu sisi membebaskan dhu’afa dari beban hidup yang menghimpit dan mengembangkan kesejahteraan mereka, dan di sisi lain memberi kesempatan bagi kaum berada untuk membersihkan diri dan melapangkan dada mereka serta, pada puncaknya, merupakan wahana bagi pengembangan sifat rahmatan lil ‘alamin agama dan para pemeluknya.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.